Laparotomi Penyelamat: Kisah Operasi Mayor dalam Menutup Lubang Maut di Sistem Pencernaan

Dalam skenario kegawatdaruratan bedah abdomen, ketika organ berongga mengalami perforasi atau pendarahan internal mengancam jiwa, hanya ada satu prosedur yang dapat menawarkan harapan segera: Laparotomi Penyelamat. Prosedur ini adalah operasi mayor yang melibatkan pembukaan rongga perut melalui sayatan besar, memberikan akses penuh kepada tim bedah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kerusakan serius pada sistem pencernaan atau pembuluh darah. Kisah di balik tindakan laparotomi eksplorasi selalu dramatis, karena ia adalah garis pertahanan terakhir melawan peritonitis dan syok septik yang mematikan. Menurut data dari Survei Morbiditas dan Mortalitas Bedah di RSUD Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2023, pasien yang menjalani laparotomi kurang dari empat jam setelah diagnosis perforasi menunjukkan tingkat kelangsungan hidup 92%, sebuah angka yang menggarisbawahi urgensi tindakan ini.

Keharusan tindakan Laparotomi Penyelamat muncul dari berbagai kondisi akut. Kasus paling umum adalah perforasi ulkus peptikum (tukak lambung yang pecah) atau apendisitis yang sudah pecah. Namun, trauma juga sering menjadi penyebab. Sebagai contoh, pada hari Jumat, 25 Oktober 2024, pukul 19.45 WIB, seorang korban kecelakaan sepeda motor di Jalan Raya Lintas Timur, Pekanbaru, dilarikan ke Pusat Layanan Trauma. Korban didiagnosis dengan trauma tumpul abdomen yang menyebabkan robekan pada usus besar. Tim Dokter Bedah dipimpin oleh Prof. Dr. Andi Sudarmo, Sp.B-KBD, yang memulai operasi pada pukul 20.30 WIB. Durasi waktu yang singkat antara diagnosis dan dimulainya operasi adalah kunci keberhasilan, sesuai dengan protokol penanganan Damage Control Surgery.

Prosedur Laparotomi Penyelamat diawali dengan anestesi umum total dan sayatan memanjang vertikal di bagian tengah perut (midline incision). Setelah rongga perut terbuka, prioritas pertama ahli bedah adalah mengidentifikasi sumber masalah—apakah itu lubang perforasi atau titik pendarahan masif. Dalam kasus perforasi organ berongga, seperti pada usus besar korban kecelakaan tadi, tindakan yang dilakukan adalah menutup lubang tersebut dengan jahitan atau, jika kerusakan jaringan terlalu parah, memotong segmen yang rusak (reseksi usus) dan menyambungnya kembali (anastomosis). Jika penyambungan langsung terlalu berisiko karena kontaminasi tinggi, dokter dapat memilih membuat stoma (kantong kolostomi/ileostomi sementara).

Setelah sumber kontaminasi diatasi, langkah krusial berikutnya adalah membersihkan seluruh rongga perut. Proses yang disebut peritoneal lavage ini menggunakan literan cairan garam steril hangat untuk membilas sisa-sisa feses, nanah, dan bekuan darah. Pembersihan yang tidak tuntas dapat meninggalkan kantong-kantong infeksi (abses intra-abdomen) yang memerlukan operasi ulangan. Keputusan bedah yang tepat selama laparotomi ini tidak hanya memperbaiki kerusakan fisik, tetapi juga secara sistemik menghentikan proses sepsis yang mengancam nyawa. Laparotomi Penyelamat bukan sekadar prosedur teknis; ia adalah perlombaan melawan waktu, di mana keberanian dan pengalaman tim bedah diuji secara ekstrem untuk menjamin prognosis terbaik bagi pasien.

Perawatan pasca-operasi melibatkan pemantauan intensif di ICU, dukungan ventilasi jika diperlukan, dan manajemen antibiotik yang agresif. Pasien membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk pemulihan total, namun berkat intervensi Laparotomi Penyelamat yang tepat waktu, mereka berhasil melewati ambang maut yang disebabkan oleh kebocoran organ internal.